Dalam film "Pong Maramba” kita sudah melihat bagaimana orang Toraja membangun kebudayaan dalam tatanan simbol-simbol yang maknanya mesti ditafsir ulang terus menerus (kontekstualisasi) sehingga makna itu tetap bernilai dalam membangun kehidupan bersama dalam konteks yang berubah.
Kita tidak bisa menyangkali bahwa identitas ketorajaan kita bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Identitas ketorajaan kita adalah suatu konstruksi sosial-budaya yang dibangun berdasarkan kesepakatan dan konflik dengan unsur-unsur budayawi yang lain (misalnya, Bugis, Islam dan Kristen).
Oleh karena itu, ketorajaan kita sekarang ini adalah suatu bentuk transformasi identitas yang berlangsung tanpa henti. Anda sedang berada dalam proses "menjadi” orang Toraja dan memberi makna pada identitas ketorajaan dalam perubahan zaman.
Jika kemudian para leluhur kita bersepakat untuk menerima kekristenan sebagai bagian dari identitas ketorajaan, maka itu harus dilihat sebagai cara mereka menyerap perubahan yang mereka alami pada masa hidup mereka. Hal yang sama juga perlu kita renungkan: apakah kekristenan masih bermakna memperkuat identitas ketorajaan kita menjadi identitas yang terbuka ataukah makin tertutup? Jika dalam diskursus budaya Toraja terjadi transformasi dalam memahami tongkonan sebagai "rumah bersama” (oikumenis) maka proses itu merupakan upaya memahami budaya Toraja seutuhnya dan melakukan kontekstualisasi pengalaman-pengalaman iman kristiani.
SUMBER : http://www.facebook.com/group.php?gid=149288895427